Senin, 28 Desember 2009

Robert K.Merton

BAB I
PENDAHULUAN

Robert K.Merton adalah salah seorang tokoh sosiologi kontemporer yang hidup pada awal 20, dianggap sebagai pendukung model fungsionalisme stuktural yang paling moderat dewasa ini, analisis fungsional Merton sesungguhnya merupakan hasil perkembangan pengetahuannya yang menyeluruh menyangkutpara ahli teori-teori sosiologi klasik. Dia mencoba menyempurnakan berbagai konsep pemikiran “Durkheim” dan “Weber” dengan memusatkan perhatian pada struktur sosial, bahwa birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisasir secara rasional dan formal, meliputi pola kegiatan yang jelas dan berhubungan dengan tujuan organisai. Diskripsi Merton tidak terbatas pada struktur melainkan terus dikembangkan pada pembahasan tentang kepribadian sebagai produk organisasi stuktural.
Untuk lebih jelasnya akan dibahas pada bab selanjutnya.


BAB II
PEMBAHASAN


Robert K.Merton sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas teori-teori fungsionalisme, adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagai perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis, ia juga mengakui bahwa fungsionalisme struktural mungkin tidak akan mampu mengatasi seluruh masalah sosial.

A. Struktural Sosial Dalam Fungsionalisme Robert K. Merton.
Model analisis fungsional Merton merupakan hasil perkembangan pengetahuannya yang menyeluruh tentang ahli-ahli teori klasik.
Kemudian Merton mengamati beberapa hal dalam organisasi birokrasi moderennya yaitu :
1. Birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan formal.
2. Ia meliputi suatu pola kegiatan yang memiliki batas-batas yang jelas.
3. Kegiatan-kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan tujuan-tujuan organisasi.
4. Jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan kedalam keseluruhan struktur birokrasi.
5. Status-status dalam birokrasi tersusun kedalam susunan yang bersifat hirarkis.
6. Berbagai kewajiban serta hak-hak d dalam birokrasi dibatasi oleh aturan-aturan yang terbatas serta terperinci.
7. Otoritas pada jabatan, bukan pada orang.
8. Hubungan-hubungan antara orang-orang diabtasi secara formal.
Merton tidak berhenti dengan deskripsi tentang stuktrul, akan tetapi terus membahas kepribadian sebagai produk organisasi struktural tersebut. Struktur birokratis memberi tekanan terhadap individu sehingga mereka menjadi “disiplin, bijaksana, metodis”. Tetapi tekanan ini kadang-kadang menjurus pada kepatuhan mengikuti peraturan secara membabi buta tanpa mempertimbangkan tujuan dan fungsi-fungsi untuk apa aturan-aturan itu pada mulanya dibuat. Walaupun aturan-aturan tersebut dapat berfungsi bagi efisensi organisasi, tetapi aturan-aturan yang demikian dapat juga memberikan fungsi negatif dengan menimbulkan kepatuhan yang berlebih-lebihan. Hal ini bisa menjurus pada konflik atau ketegangan antara birokrat dan orang-orang yang harus mereka layani.
Ambilah contoh mahasiswa yang mencoba meminjam buku cadangan yang hanya bisa dibaca di perpustakaan, pada saat perpustakaan tersebut akan tutup dan berjanji mengembalikan pada hari berikutnya pada saat perpustakaan sudah dibuka kembali. Pegawai perpustakaan, yang menolak permintaan itu, harus tunduk pada peraturan bahwa buku tersebur tidak diedarkab diluar perpustakaan. Sang mahasiswa menjadi bingung, sebab dia tahu benar bahwa tak seorangpun yang akan membaca buku itu setelah perpustakaan tutup. Akan tetapi peraturan tetap peraturan, dan pegawai menganggap bahwa mereka harus mematuhinya.
Struktur birokratis dapat melahirkan tipe kepribadian yang lebih mematuhi peraturan-peraturan tertulis daripada semangat untuk apa peraturan itu diterapkan. Metron mengusulkan suatu penelitian empiris mengenai dampak birokrasi terhadap kepribadian yang akan menunjukkan saling ketergantungan.

B. Paradigma Analisa Fungsional Merton
Merton memulai analisa fungsionalnya dengan menunjukkan perbendaharaan yang tidak tepat serta beberapa asumsi atau postulat kabur yang terkandung dalam teori fungsionalisme. Merton mengeluh terhadap kenyataan bahwa “sebuah istilah terlalu sering digunakan untuk melambangkan konsep-konsep yang berbeda-beda, seperti halnya dengan konsep yang sama digunakan sebagai simbol dari istilah-istilah yang berbeda” (Merton 1976: 74). Konsep-konsep sosilogi seharusnya memiliki batasn yang jelas bilamana mereka harus berfungsi sebagai bangunan dasar dari proposisi-proposisi yang dapat diuji. Lebih dari pada itu, proposisi-proposisi harus dinyatakan dengan jelas tanpa berwayuh arti. Model Merton mencoba membuat batasan beberapa konsep analitis dasar bagi analisa fungsional dan menjelaskan bebepara ketidakpastian arti yang di dalam postulat-postulat kaum fungsional.
Merton mengutip tiga postulat yang dapat di dalam analisa fungsional yang kemudian disempurnakannya satu demi satu yaitu sebagai berikut :
1. Adalah kesatuan fungsional masyarakat yang adapt dibatasi sebagai “suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial bekerjasama dalam suatu tingkat keselarasan atau kosistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat dibatasi atau diatur”. Merton menegaskan bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari suatu masyarakat adalah “bertentangan dengan fakta”. Sebagai contoh dia mengutip beberapa kebiasaan masyarakat yang dapat bersifat fungsional bagi suatu kelompok (menunjang integrasi dan kohesi suatu kelompok) akan tetapi disfungsional (mempercepat kehancuran) bagi kelompok lain.
Paradigma Merton menegaskan bahwa disfungsi (elemen disintegratif) tidak boleh diabaikan hanya karena orang begitu terpesona oleh fungsi-fungsi positif (elemen integratif). Ia juga menegaskan apa yang fungsionla bagi suatu kelompok dapat tidak fungsionla begi keseluruhan, oleh karena itu batas-batas kelompok yang dianalisa harus terperinci.
2. Yaitu fungsionalisme universal, berkaitan dengan postulat pertama. Fungsionalisme universal menganggap bahwa “seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif” (Merton 1967: 84). Sebagaimana sudah kita ketahui, Merton memperkenalkan konsep difungsi maupun fungsi positif. Beberapa perilaku sosial jelas bersifat disfungsional. Merton menganjurkan agar elemen-elemen kultural seharusnya dipertimbangkan menurut kriteria keseimbangan konsekuensi-konsekuensi fungsional (bet balance of functional consequences), yang menimbang fungsi positif terhadap fungsi negatif. Sehubungan dengan kasus agama di Irlandia Utara tadi seorang fungsionalis harus mencoba mengkaji fungsi positif maupun negatifnya, dan kemudian menetapkan apakah keseimbangan diantara keduanya lebih menunjuk pada fungsi negatif atau positif.
3. Yang melengkapi trio postulat fungsionalisme, adalah postulat indispensability. Ia menyatakan bahwa “dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, obyek materil, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang ahrus dijalankan, dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan. Menurut Merton postulat ini masih kabur. Belum jelas apakah fungsi (suatu kebutuhan sosial, seperti reproduksi anggota-anggota baru) atau item (sebuah norma, seperti keluarga batih), merupakan suatu keharusan.
Merton menulis, pendek kata postulat indispensability sebagaimana yang sering dinyatakan mengandung dua pernyataan yang berkaitan, tetapi dapat dibedakan satu sama lain. Pertama, bahwa ada beberapa fungsi tertentu yang bersifat mutlak dalam penegrtian, bahwa kecuali apabila mereka dijalankan, maka masyarakat (atau kelompok maupun individu) tidak akan ada.

C. Kritik Terhadap Fungsionalisme
Merton pertama kali mengembangkan paradigmanya pada tahun 1948 untuk merangsang peneliti untuk menggunakan teori fungsionalisme struktural. Apa yang ia tawarkan segera menjadi model bagi perkembangan teori-teori yang secara ideal menyatu dengan penelitian sosiologis fungsionalisme struktural ini, kadangkala secara tidak adil, mendapat serangan dari berbagai penjuru, termasuk dari para ahli teori konflik dan psikologi sosial. Kita akan memperhatikan beberapa asumsi umum yang ternyata melekat dalam fungsionalisme dan kritik-kritik yang ditimbulkan oleh asumsi-asumsi itu. Kemudian kita akan menghubungkan asumsi tersebut dengan fungsionalisme-Merton.
Seperti halnya dengan semua teori, fungsionalisme struktural juga bertumpu pada sejumlah asumsi tertentu tentang hakikat manusia dan masyarakat. Asumsi-asumsi tersebut cenderung bersifat konservatif lebih terpusat pada struktur sosial yang ada daripada perubahan sosial. Masyarakat dianggap terdiri dari bagian-bagian yang secar teratur salng berkaitan. Walaupun skema pardigma Merton merupakan penyempurnaan dari fungsionalisme yang lebih awal, tetapi dia masih tetap saja menekankan kesatuan, stabilitas dan harmoni sistem sosial.
Fungsionalisme struktural tidak hanya berlandaskan pada asumsi-asumsi tertentu tentang keteraturan masyarakat, tetapi juga memantulkan asumsi-asumsi tertentu tentang hakikat manusia. Di dalam fungsionalisme, manusia diperlakukan sebagai abstraksi yang menduduki status dan peranan yang membentuk lembaga-lembaga atau struktur-struktur sosial. Di dalam perwujudannya yang ekstrim, fungsionalisme struktural secara implisit memeprlakukan manusia sebagai pelaku yang memainkan ketentuan-ketentuan yang telah dirancang sebelumnya, sesuai dengan norma-norma atau aturan-aturan masyarakat.
Sebagaimana halnya dengan kebanyakan ahli teori naturalistis, Merton menganggap bahwa orang dibentuk oleh struktur sosial dimana mereka hidup. Kita telah mencoba mempertegas arti pentingnya keterikatan Merton pada analisa struktur sosial. Tetapi gambaran Merton tentang manusia itu bukanlah merupakan suatu determinisme yang kaku. Sebagaimana dinyatakan oleh Stinchombe “prose ini yang dianggap Merton sebagai masalah sentral di dalam struktural sosial ialah pilihan diantara alternatif-alternatif yang terstruktur secara sosial”. Dengan kata lain ada pola-pola perilaku yang merupakan bagian dari aturan institusional (yang dengan demikian memungkinkan sosiologi untuk berkembang sebagai ilmu).
Konsepsi Meton tentang masyarakat berbeda dari konsepsi Emile Durkheim sebagai sesepuh analisa fungsionalisme struktural. Struktur-struktur sosial terintegrasi dan norma-norma yang ada mengendalikan para anggota mereka. Mereka benar-benar ada dan merupakan sasaran pengkajian ilmu sosiologi. Hal ini dapat dilihat dalam prioritas yang diberikan Meton pada analisa struktural di dalam sosiologi. Akan tetapi struktur sosial Merton tidaklah memiliki sifat statis sebagaimana yang disesalkan oleh banyak pengeritik fungsionalisme struktural. Persyaratan analisa struktural Merton mencakup pengakuan : (1) bahwa oleh karena proses diferensisasi, struktur sosial dapat menimbulkan konflik sosial, (2) bahwa ambivalensi sosiologi berkembang dalam struktur normatif dalam bentuk ketidaksesuaian harapan-harapan yang terpola, dan (3) bahwa struktur sosial menimbulkan perubahan di dalam struktur-struktur dan perubahan struktur itu sendiri. Walaupun struktur sosial Merton memiliki realitasnya sendiri-suatu realitas yang mempengaruhi mereka yang memiliki peranan dan status-ia tidaklah merupakan suatu realitas statis.
Merton mengakui bahwa analisa fungsionalisme struktural yang dikemukakannya hanya merupakan salah satu pendekatan dalam ilmu sosiologi, yang harus diakui sebagai pendekatan yang terbaik. Ia mengakui bahwa pendekatan yang idea adalah sebuah teori tunggal yang menyeluruh, akan tetapi dia merasakan adanya masalah “apabila apa yang idea itu dianggap sebagai hal yang ada sekarang ini”. Walaupun Merton pada umumnya terikat pada teori sosiologi naturalistis dan khususnya pada analisa fungsionalisme struktural, akan tetapi dia selalu berhati-hati untuk tidak berada did alam ketertutupan yang dangkal dengan menerimanya sebagai suati paradigma teoritis tunggal. Sebagaimana ia nyatakan :
Seandainya saya adalah seorang dokter yang dipanggil bukan hanya untuk membuat diagnosa akan tetapi juag terapi, maka pendapat saya adalah sebagai berikut : bahwa krisis sosiologis yang kronis tersebut, dengan segala keragaman, perasingan dan pertentangan antar doktrin yang ada di dalamnya, tampaknya menuntut suatu terapi yang kadang-kadang diusulkan untuk mengobati krisis yang bersifat akut, yakni suatu resep tunggal berupa wawasan teoritis yang menawarkan kebenaran sosiologis yang penuh dan eksklusif.


BAB III
KESIMPULAN

Merton telah menghabiskan karir sosiologinya dalam mempersiapkan dasar struktur fungsional untuk karya-karya sosiologis yang lebih awal dan dalam mengajukan model atau paradigma bagi analisa struktural. Dia menolak postulat-postulat fungsionalisme yang masih emntah, yang menyebabkan paham “kesatuan masyarakat yang fungsional”, “fungsionalisme universal”, dan “indespensability”. Merton mengetengahkan konsep disfungsi, alternatif fungsional dan konsekuensi keseimbangan fungsional, serta fungsi manifes dan laten, yang dirangkainya kedalam suatu paradigma fungsionalis. Walaupun kedudukan model ini berada diatas postulat-postulat fungsionalisme yang elbih awal, tetapi kelemahannya masih tetap ada. Masyarakat dilihat sebagai keseluruhan yang lebih besar dan berbeda dengan bagian-bagiannya. Individu dilihat dalam kedudukan abstrak, sebagai pemilik status dan peranan yang merupakan struktur. Konsep abstrak ini memeprbesar tuduhan bahwa paradigma tersebut mustahil untuk diuji.
Beberapa teori Merton yang terungkap dari tiga postulat menjelaskan tentang kesatuan fungsional masyarakat yang dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial bekerjasama dalam suatu tingkat keselarasan atau konsistensi internal yang memadai. Fungsionalisme universal menyatakan bahwa seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif, meskipun beberapa perilaku sosial cenderung bersifat disfungsional. Analisis terakhir dalam postulat indispensability menegaskan bahwa dalam setiap peradaban, setiap kebiasaan, ide, obyek material dan ekpercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan, karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan sistem secara keseluruhan. Merton sendiri mengkritisi postulatnya dengan pernyataan bahwa kita tidak mungkin mengharapkan terajdinya integrasi masyarakat secara sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

iklan